Selasa, 18 Desember 2012

Sembilan Syarat Seorang Pemimpin

Dalam Nawa Natya digambarkan adanya sembilan syarat bagi seseorang yang dapat dipilih sebagai pemimpin. Sembilan syarat yang disebut Nawa Natya adalah: 1.Pradnya widagda, artinya bijaksana dan mahir dalam berbagai ilmu pengetahuan. Orang yang mampu menjadikan ilmu sebagai alat untuk memperkuat diri dan mampu menjadikan dirinya seorang bijaksana inilah yang disebut pradnya widagda. 2. Parama artha, artinya orang yang memiliki cita-cita mulia dalam hidupnya, adalah orang yang dalam mencari sumber hidup dan kehidupan melalui bhakti pada Tuhan dan mengabdi pada sesama dengan penuh cinta kasih. Dari bhakti-nya pada Tuhan dan pengabdiannya pada sesama itulah mereka mendapatkan sumber hidup dan kehidupan. 3.Wira sarwa yudha artinya pemberani dalam menghadapi pertempuran, baik dalam keadaan perang ikut berperang maupun dalam keadaan damai tidak takut menghadapi masalah yang terjadi dalam melakukan tugas-tugas kepemimpinan. Pemimpin itu jangan lari dari persoalan yang dihadapi dalam pekerjaannya. Setiap persoalan yang timbul hendaknya diselesaikan secara baik atau berbadasarkan kebenaran dan menuju kebenaran.
4.Dirotsaha, artinya teguh dan tekun dalam berupaya. Dirotsaha berasal dari kata dira artinya teguh atau tekun dan utsaha artinya berupaya. Keteguhan dan ketekunan itu bukanlah suatu keangkuhan, namun didasarkan pada kuatnya rasa bhakti pada Tuhan dan disertai dengan keyakinan bahwa Tuhan pasti akan memberikan petunjuk pada mereka yang teguh dan tekun berusaha untuk menemukan kebenaran. 5, Pragi wakya, artinya pandai menyusun kata-kata dalam pembicaraan. Salah satu tugas seorang pemimpin adalah menyampaikan buah pikirannya dalam suatu pembicaraan dengan pihak lain secara jelas, lugas, tepat dan teliti. Pragi wakya akan diperoleh melalui kegemaran membaca dan latihan-latihan berbicara. 6.Sama upaya, artinya taat pada janji. Janji adalah mahkota yang menentukan wibawa seorang pemimpin. Karena itu, pemimpin tidak boleh sembarang berjanji.. Kepercayaan adalah napas bagi seorang pemimpin.
7.Lagha wangartha, artinya orang yang tidak memiliki pamrih pribadi yang sempit, karena keyakinan nya sangat mendalam tentang kebenaran ajaran karma phala. Karena hanya perbuatan yang baiklah yang akan memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu, berkonsentrasilah untuk selalu berbuat yang baik sesuai dengan swadharma. 8.Wruh ring sarwa bhastra, artinya tahu mengatasi kerusuhan, mirip dengan ilmu "manajemen krisis" dewasa ini. Seorang pemimpin harus sudah memperhitungkan semua kemungkinan tersebut dan harus sudah memiliki berbagai upaya dan konsep pencegahannya. 9.Wiweka, artinya kemampuan untuk dapat membeda-bedakan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat. Juga mampu mengambil sikap mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting, dan seterusnya. Hal ini tidak dapat diperoleh hanya dengan membaca buku saja, namun harus dilakukan melalui latihan-latihan yang tekun dalam masyarakat di samping itu harus juga ada bakat. Sumber : Jero Mangku Sudiada

Sejarah Pura Pulaki

Pura Pulaki: Tempat Moksah Sri Patni Keniten PURA Pulaki ini bedekatan dengan Pura Dalem Melanting yakni pantai utara Pulau Bali, termasuk Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Pura atau Khayangan ini disamping sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam perwujudannya (manifestasi)-Nya. Pura ini juga sebagai tempat memuliakan dan memuja arwah suci dari Sri Patni Kaniten- salah seorang istri dari Danghyang Nirartha yang diberi gelar "Bhatari Dalem Ketut". Pembangunan Pura Pulaki ini ada kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha seperti halnya Pura Dalem Melanting. Di dalam Dwijendra Tattwa mengenai asal mula berdirinya pura atau khyangan pulaki disebutkan: Pada waktu itu istri Danghyang Nirartha Sri Patni Kaniten yang berasal dari Blambangan bergelar Mpu Istri Ktut dalam keadaan payah menyembah Danghyang Nirartha dan berkata, "Mpu Danghyang, dinda tidak kuasa lagi melanjutkan perjalanan dan rasanya ajal hamba sudah tiba, karena itu ijinkanlah dinda sampai disini saja mengiringi Mpu Danghyang.
Dengan hormat serta kerendahan hati yang tulus iklas dinda mohon agar diberikan ajaran ilmu gaib sebagaimana yang sudah diberikan kepada anakda Ni Ayu Swabhawa, agar adinda dapat terlepas dari segala dosa dan kembali menjadi Dewa," demikian permohonan Mpu Isteri Ktut. Danghyang Nirartha lalu menjawab, "baiklah kalau demikian, dinda diam disini saja bersama-sama dengan puteri kita Ni Ayu Swabhawa, ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting, dan adinda boleh menjadi "Bhatari Dalem Ktut" yang akan menjadi junjungan dan disembah orang-orang desa disini. Desa bersama orang-orang yang ada disini akan kanda "Pralina" (hanguskan), sehingga tidak dapat lagi dilihat oleh manusia biasa dan semua orang-orangnya menjadi orang halus (wong gamang) namanya orang "Sumedang", sedang daerah desa ini kemudian bernama "Mpu Laki", demikian kata Danghyang Nirartha.
Setelah itu menggaiblah Mpu Isteri Ktut dan tidak dapat dilihat manusia lagi, dan kemudian Danghyang Nirartha bersama putra-putrinya meneruskan perjalanannya dengan tujuan Gelgel untuk bertemu dengan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang bertahta dan memerintah di Bali. Dalam perjalanannya ini Danghyang Nirartha pertama tiba di Desa Gadingwani, dan oleh orang desa Gadingwani Danghyang Nirartha dimohon agar berkenan untuk sementara waktu tinggal di desa Gadingwani untuk mohon pengobatan, berhubung desa Gadingwani sedang diserang wabah penyakit sehingga banyak orang-orang desa menderita sakit, dan malahan tidak sedikit sudah menemui ajal sebagai korban penyakit yang sedang berkecamuk itu..dan seterusnya.
Begitulah di tempat moksa (menggaibnya) Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut itu kemudian dibangun sebuah bangunan suci (Pura atau Khayangan) yang diberi nama Pura Pulaki sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa. Selain itu disini dimuliakan yaitu Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut. *patra dari berbagai sumber